Semoga Menyenangkan

JANGAN LUPA CANTUMKAN SUMBER KAKAK,
DAN KLIK "Join This Site" ATAU "Mengikuti"
Suwun :)

Senin, 19 Januari 2015

Cerpen: Saat Malam Menantiku

Oleh: Annisa Nur Ikhsanah
(Contoh Cerpen mengandung puisi, email, sms, dan telephone)



 
Malam sudahlah aku
Tepat nanti waktuku di talu,
aku hanyalah seonggok kenangan masa lalu
Tidak lama lagi,
Masaku sudah menanti,
Ditepi hari…
Ya! Lihat dibalik kabut!
Aku sudah dijemput
Oleh maut…
Aku takut…
Dan takut…
Kala saat itu hadir,
Jangan lepaskan aku kepada takdir,
Genggamlah aku…
Sekuat kamu !
Sesakti kamu !
Sebesar kamu !
Selama kamu !
Sekarsa kamu !
Lalu… kepada aku

Walau semuanya sudah gelap, namun aku masih bisa merasakan gemetar tangan ibunda yang memangkuku sembari membaca puisi karyaku. Mungkin memang sudah malam, tapi aku masih peka terhadap sesuatu yang menetes ke tubuhku, ini air mata. Ibu terus saja menangis tersendu-sendu, begitupun ayah. Lama terasa, hingga aku tak merasakan apa-apa, aku sekarang hanya seperti segumpal daging beku tanpa daya. Samar-samar aku mendengar ,
 “Jadi permata sudah tahu? Sejak kapan?” Rintih Ayah.

*********


Aku tahu ketika dulu itu di Rumah Sakit, ketika aku terbangun dari pingsanku. Aku mendengar suara-suara yang saling menyangkal tentang Neoplasma. Apa itu? Aku fikir itu hanya semacam penyakit kurang darah? Atau kelelahan? Atau semacam penyumbatan. Begitupun kata ayahku, hanya sedikit lecet di organ dalam. Aku percaya itu, karena memang tidak berat yang aku keluhkan, hanya lesu, kadang nyeri dan jarang sekali mimisan, itu saja. Tapi kenapa ayah dan ibu sulit sekali untuk menerima Neoplasama ini? Apa sebenarnya Neoplasma, apa itu benar-benar hanya lecet organ dalam? Ahhh sudahlah anggap saja aku percaya, karena dokter juga membenarkan kata ayahku. Dan ibu, beliau memang sangat sayang padaku karena akulah anak satu-satunya. Jadi walau seringan apapun itu, ibu akan khawatir padaku. Baiklah, semua aku anggap biasa saja tentang Neoplasmaku.
Aku belum dibolehkan pulang oleh dokter. Walau begitu aku tak sekalipun merasa jenuh. Cukup mudah bagiku membuat hidupku terasa menyenangkan dan tidak membosankan. Usai sudah serangkaian olahraga yang bagiku sebenarnya terasa seperti terapy, dimana aku menjalani semua satu demi satu sesuai arahan dokter, kemudian melewati serangkaian test laborat, dan diakhiri dengan minum obat yang justru membuatku muntah-muntah parah tak karuan. Tak masalah, enjoy aja karena sekarang aku sudah ada di depan layar ipadku. Aku langsung tancap sluncur ke dunia maya. “Kunang-kunang kuning” begitu aku tuliskan ID pada Yahoo Mail. Langsung saja aku buka sasaran pertamaku, yaitu inbox dari Elang Putih, si soulmateku di dunia maya. Gimana enggak? Dia selalu hadir kapanpun aku mencari Guardian Angelku. Tidak seperti Dion.
Dion itu kekasih aku, 5 tahun aku menjalin hubungan dengannya, sejak dulu aku masih remaja berusia 16 tahun. Ya... kisah kasih disekolah gitu. Aku tahu dia sayang banget sama aku, tapi dia terlalu sibuk dan egois…. Uhhh……

From                : Elang.Putih@yahoo.com
Message          : 28 jam 15 menit 47 detik,kemana aja kamu kunang?
                           Aku rindu padamu kunangku? Apa kamu baik saja disana?

Gubrak aku mendengar kata rindu dari elang. Sedang pacarku saja belum nengokin aku sampai hari ini. Gila bener sampai detikpun Elang menghitungnya, tak terbayang bagaimana detik demi detiknya terlalui untuk menungguku. Aku langsung serasa melambung-lambung. Kalau kata iklannya nih,
“Aku serasa terbang diawan putih dan meluncur bersamba lumba-lumba, dan terjun di taman bunga…..”
Spontan aja aku langsung ceritakan tentang keadaan dan posisi aku sekarang. Walau begitu aku tetap bilang bahwa aku baik-baik saja. Sampai pada akhirnya, aku menyebut “Neoplasma”. Simbol misterius dunia kedokteran.
Aku penasaran dan semakin penasaran. Karena Elangpun terkesan tak mau menjawab pertanyaanku tentang apa itu Neoplasma? Dia selalu mengalihkan haluan pembicaraan. Sampai-sampai aku nggak bisa tidur gara-gara dihantui rasa ingin tahu.
Oh ya, aku ingat, aku masih save nomer hape Elang. Daripada nggak nyenyak dalam tidur, lebih baik aku telephone Elang aja deh.
(…….tuuuuttttttttttt…… tekan 5 untuk menjadikan nada sambung berikut sebagai nada sambung di hapemu, “There’s a hero if you look inside your heart. You don’t have to be afraid of what you are. There’s an answer if you reach into your soul. And the sorrow that you know will melt away.”)
“Halo… maaf dengan siapa ini?” jawab dari nomer Elang.
“Kok suara cewek sih? Kamu pacarnya Elang ya?” tanya ku.
“Elang? Maaf maksud Anda Dokter Erlangga? Saya assistannya, beliau sedang ada di ruang operasi. Anda bisa meninggalkan pesan.” Terang si pengangkat telephone.
“ owh… begitu ya… sampaikan saja tadi saya telephone. Dan nanti Ela, oh maaf maksudnya Dokter Erlangga biar kasih kabar balik ke saya.” Kata ku.
“Maaf, benar Anda kunang? Begitu nama Anda di hape ini.”
“Iya. Permata terangnya.”
“Ohh…begitu. Baiklah.”
“Terima kasih ya…?”
“Sama-sama.” Akhir assistant Elang.
Aku kaget. Begitu aku menutup telephone ayahku langsung menggenggam tanganku. Aku bisa merasakan dinginnya tangan ayahku. Sedang aku menengok kearah ibu ternyata ia tak menatapku, ia membelakangiku, dan berdiri memandang keluar jendela. Ada apa ini? Lalu ayah menjelaskan bahwa lusa akan dilakukan operasi. Operasi apa itu? Aku tidak tahu, mungkin hanya operasi untuk mengobati organ dalamku yang katanya lecet. Lagi-lagi aku merasa aneh, kalau memang itu operasi ringan, kenapa mereka sebegitu terkesan takutnya? Dasar Neoplasma, sang sosok misterius yang menjadi bagian dari aku.
SMS…SMS…
“Oh handphoneku berdering, semoga saja dari Elang…” Harapku.

Masagge
Yank, maf ya? Q lum bsa jngukn u yank..
Q lg da krjaan d Bandung nh…
Baik2 y dsna? Lusa q dtang dech.
Ciyusss… Emuachhh :*

Pengirim:
Dion
+6287732818673

Ternyata bukan. Tapi dari kekasihku satu-satunya yaitu Dion. Aku senang dapat sms dari Dion, tapi simbol kedokteran itu terus saja memecahkan pikiranku. Rasanya tak ada keinginan untuk melepaskan buih-buih rindu saat ini. Yang ada ingin cepet-cepet tahu tentang Neoplasma.
SMS…..SMS….
Tak lagi bergairah mendengar hapeku berdering. Setengah melamun aku memencet tombol kunci di hapeku.

Massage:
Woww kunang q, tdi phon yak?
Kngen nh……..??

Pengirim:
Elang
+6287837695421

Rasanya “DEG” dihati, membuat pikiranku semakin melayang jauh. Bolehkah seperti ini? Aku punya kekasih, tidak seharusnya aku seperti ini sama cowok lain. Ahh tapi itu nggak penting sekarang, aku mau langsung telephone Elang saja. Peduli apa kalau ini namanya selingkuh. Peduli apa pula kalau ini namanya PHP, alias Pemberi Harapan Palsu. Aku tak mau cloudy dulu, alias galau. Yang penting semua pertanyaan tentang simbol itu terpecahkan.
(…….tuuuuttttttttttt…… tekan 5 untuk menjadikan nada sambung berikut sebagai nada sambung di hapemu, “There’s a hero if you look inside your heart. You don’t have to be afraid of what you are…”)
Terbawa suasana lagu, bibirku secara tak sadar mulai mengikuti irama untuk bernyanyi,
“There’s a heroooooooooo if you look inside your heart eeeeeee. You don’t have to be afraid of what you are eeeeee”
“Ehm, konser nih?” Elang mengangkat telephoneku.
“Heheeheh nada sambungnya enak. Lagunya Mariah Carey ya? Hero?”
“Iya dong… ada apa nih? Tumben-tumbennya telephone? Biasanya juga cukup chat di YM?” Tanya Elang.
“Daripada nggak bisa tidur… ya…”
“Segitu kangennyakah kamu ma aku? Hahahaha…”
“HEY! Nggak usah GR dulu deh, aku cuma mau tanya nih… emmm…” Ragu ku.
“Apa?”
“Tentang Neoplasma …” Aku menghentikan bicaraku.
“Kenapa tanya sama aku?”
“Kamu kan dokter, iya kan? Ngaku aja deh, aku sudah tahu kok. Jadi nggak mungkin kan kalau kamu nggak tahu.”
“Huh ya emang nggak mungkin. Tapi ini menyangkut etika kedokteran. Kalau doktermu saja nggak ngasih tahu ya… aku juga nggak mungkin bisa kasih tahu… maaf maaf saja nih?!”
“Tapi aku kenal kamu sebagai Elang! Not as Dr. Erlangga, so? Tell me!”
Neoplasma itu…Mungkin memang sebaiknya kamu nggak usah tahu aja deh!” Halus suara Elang.
“Loh kok gitu?”        
“Haduh gimana ini?” Nada Elang gelisah.
“Please… cukup kasih tahu saja. Nggak usah mikir apa-apa. Apapun itu, it’s okay buat aku. Please Elang… please… aku akan tetap baik-baik aja kok.” Rayu ku.
“Kangker.” Singkat Elang.
“Apa? Bisa ulang sekali lagi? Aku… aku…” Nyeri dihatiku.
“Husssssssst udah! Ada obatnya kok, kamu harus yakin itu!” Elang coba menenangkanku.
“Operasi lusa itu untuk…” Fikir ku.
“Operasi! Ya! Operasi bisa menyembuhkanmu.”
“Kalau… ganas?” Tanyaku pesimis.
“Permata… dengar aku!”
Ini pertama kalinya Elang memanggilku Permata dan bukan Kunang. Entah apa yang aku rasakan. Berita-berita kematian karena kangker terus saja menghantuiku. Sekarang aku mengerti, mengapa ayah dan ibu sulit menerima penjelasan dokter? Pasti karena Neoplasma yang ternyata kangkerku ini bukan lagi prajurit pleton yang mudah dikalahkan. Bahkan aku yakin lebih dari sekelas benteng yang kuat bertahan. Mungkin kelasnya ratu atau bahkan raja yang berkuasa menitahku untuk mati.

********


            Dua hari sudah berlalu, hari ini aku hanya tinggal menunggu didorongnya tempat tidurku ini ke ruang tempat bergantungnya sembuh atau mati.  Perawat memberi kabar jam 10.00 WIB nanti waktuku untuk operasi, berarti 2 jam lagi. Perawat juga menerangkan bahwa pihak Rumah Sakit bekerjasama dengan dokter ahli dari Surabaya untuk operasiku. Aku tahu maksud mereka berbicara dengan cara bersik-bisik seperti itu, maksudnya agar aku berfikir tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Tapi percumah, aku sudah terlanjur tahu. Termasuk tahu alasannya mengapa mereka sampai harus mengimport dokter dari Surabaya.
                Pada saat penantian itulah aku merangkai puisi malamku. Takut jika nanti aku pergi belum sempat mengucapkan selamat tinggal. Sekaligus harapan jika nanti aku sembuh, itulah buah karyaku yang akan aku jadikan sebagai saksi perjuanganku melawan maut.
            “Kuncup melati di pinggir pesisir
            Ditepi karang dipandang gadis
            Hidup atau mati sudahlah takdir
            Sekarang atau nanti sudah tertulis”
Begitulah caraku mengibur diriku sendiri, akan kehilangan yang harus aku relakan untukku dan kepadaku sendiri.
            Sesaat kemudian dokter dan para perawat menjemputku, mereka mendorong kereta ini ke ruang semestinya. Satu hal yang aku ragukan. Wajah dokter satu ini asing, berarti dia bukan dokter Rumah Sakit tempatku dirawat. Mungkin ia yang dari Surabaya, tapi aku merasa mengenalnya. Gambaran wajahnya terasa dekat dalam memori. Terpaku menganalisa dokter muda ini, hingga aku tertegun ketika mendengar jerit tangis ayah dan ibuku. Dan aku baru sadar bahwa sahabat karibku si Santi dan kekasihku Dion sudah berdiri di ambang pintu. Mungkin juga mereka hadir sejak tadi serta ikut mengiringiku walau aku tak yakin itu.
            Dalam ruang ini sebelum aku dibius ada yang menyapaku dengan ramah.
“Kunang? Seperti kata Mariah Carey dalam lagunya Hero, ada pahlawan jika kamu melihat ke dalam hatimu. Kamu percaya itu?”
            “Kamu Elang?” Kagetku.
            “Hihihihi… percayalah kamu bisa bertahan!”
Itulah kata-kata pertama yang aku dengar dari Elang secara langsung setelah sekian lama aku mendambakan pertemuan dengannya di dunia nyata, sekaligus kata-kata terakhir yang bisa aku dengar dari Elang sebelum aku terpejam karena obat bius.

*********


            Ketika aku membuka mataku, aku melihat warna kuning di langit-langit kamar. Tidak seperti biasanya yang putih pucat. Setelah benar-benar sadar nampak olehku ruang kamarku. Kamar yang benar-benar milikku di rumah. Aku senang yang amat sangat. Aku ingin berjingkrak karena terlalu bahagianya, ingin ku teriakkan “HORE” karena aku sudah pulang. Tapi, menggerakkan tanganku saja ternyata aku tak bisa.
            Bersamaan dengan itu, wajah-wajah pucat nan kusam satu persatu memasuki kamarku, ada ayah, ibu, Dion, Santi, dan tentunya Elang yang hadir sebagai Dokter Erlangga. Sekarang baru terasa nyeri di semua bagian tubuhku, pedih dan juga panas.
            “Ahhh… ibu… sakit… ahhhh…” Begitu teriakku yang menerus meracau kesakitan.
Ibu lantas memelukku, menciumku, dan mengusapkan jemari halusnya ke keningku yang berkeringat. Beliau lantas memangkuku dengan tangis yang tak henti-henti. Ayahku tak berkata apa-apa, ayah hanya berlutut sambil menangis di samping tempat tidurku. Santi menutup mulutnya dengan tangannya, itu agar suara tangisnya tidak membuatku khawatir. Dion terus saja menantang Elang, yang Dion fikir Elanglah yang harus bertanggung jawab atas sakitku. Sedang Elang justru tak menghiraukan ancaman demi ancaman yang terlontar dari mulut gelisah Dion. Elang sibuk dengan telephonenya dan sibuk untuk meredakan gejolak sakit di tubuhku ini.
            Menyusul lagi wajah gelisah ke dalam kamarku. Nampaknya kamarku akan ramai hari ini. Wajah itu, bertubuhkan tinggi yang berbalutkan baju putih-putih, dia membawa lembaran kertas hasil test laboratoriumku. Elang langsung menganalisa hasilnya itu. Akupun berusaha semaksimal mungkin mengerahkan tenagaku yang tersisa ke daun telingaku. Bisa aku mendengar Elang tak percaya dengan hasil laborat ini, beberapa saat Elangpun berdebat dengan perawat pembawa berita itu. Singkatnya mereka mau tak mau mengakui kebenaran test itu, ya walaupun itu hanya berupa salinan test yang dikirim melalui fax. Tapi fax tidak akan bisa mengubah isi data yang dikirim, jadi jelas tidak ada perubahan dalam proses pengiriman data terkirim tersebut. Dan bisa dipastikan data itu asli.
            “Operasinya berhasil!” Begitu kata Elang hingga semua terheran-heran.
“Tapi….. operasinya terlambat. Kangker yang semula hanya menyerang pembuluh limpha ternyata sudah menyebar melalui sel-sel darahnya.” Tambah Elang.
Ayah dan ibuku semakin menjerit dalam kandasnya harapan. Santi mencoba menjadi sandaran ibuku walau dirinya sendiri sebenarnya rapuh. Elang mencoba memeluk Dion walau Dion terus saja berontak. Aku genggam tangan ayahku yang roboh di tepian tempat tidurku. Ayah coba terbangun dengan bantuan Elang. Bila saja aku masih mampu berkata-kata, aku ingin berkata pada Elang bahwa dia memang Guardian Angelku bahkan sampai hembusan nafas terakhirku. Aku tak mampu mengelak bahwa aku sudah malam.
“Pu..i..si……” Gemetar dan susah payah aku menunjukkan satu kata itu saja.
“Puisinya belum selesai… masih ada lanjutnya…” Kata Santi yang memungut selembar kertas yang lepas dari tangan lemas ibuku.

Lalu… kepada aku
Biarkan pilumu!
Biarkan sakitmu!
Biarkan rindumu!

Biarkan aku…. Semu…
Berlalulah dari aku
Tanpa airmata sendu…

Bukalah matamu
Dan hanya tersenyumlah mengingatku
Karena aku untaian kisah masa lalumu…

---------------TAMAT-----------