(Contoh Cerpen mengandung puisi, email, sms, dan telephone)
“Malam sudahlah aku
Tepat nanti
waktuku di talu,
aku hanyalah
seonggok kenangan masa lalu
Tidak lama
lagi,
Masaku sudah
menanti,
Ditepi hari…
Ya! Lihat
dibalik kabut!
Aku sudah
dijemput
Oleh maut…
Aku takut…
Dan takut…
Kala saat itu
hadir,
Jangan
lepaskan aku kepada takdir,
Genggamlah
aku…
Sekuat
kamu !
Sesakti kamu !
Sebesar kamu !
Selama kamu !
Sekarsa kamu !
Lalu… kepada
aku”
Walau semuanya sudah gelap, namun aku
masih bisa merasakan gemetar tangan ibunda yang memangkuku sembari membaca
puisi karyaku. Mungkin memang sudah malam, tapi aku masih peka terhadap sesuatu
yang menetes ke tubuhku, ini air mata. Ibu terus saja menangis tersendu-sendu, begitupun
ayah. Lama terasa, hingga aku tak merasakan apa-apa, aku sekarang hanya seperti
segumpal daging beku tanpa daya. Samar-samar aku mendengar ,
“Jadi permata sudah tahu? Sejak kapan?” Rintih
Ayah.
*********
Aku tahu ketika dulu itu di Rumah
Sakit, ketika aku terbangun dari pingsanku. Aku mendengar suara-suara yang
saling menyangkal tentang Neoplasma.
Apa itu? Aku fikir itu hanya semacam penyakit kurang darah? Atau kelelahan?
Atau semacam penyumbatan. Begitupun kata ayahku, hanya sedikit lecet di organ
dalam. Aku percaya itu, karena memang tidak berat yang aku keluhkan, hanya
lesu, kadang nyeri dan jarang sekali mimisan, itu saja. Tapi kenapa ayah dan
ibu sulit sekali untuk menerima Neoplasama
ini? Apa sebenarnya Neoplasma, apa
itu benar-benar hanya lecet organ dalam? Ahhh sudahlah anggap saja aku percaya,
karena dokter juga membenarkan kata ayahku. Dan ibu, beliau memang sangat
sayang padaku karena akulah anak satu-satunya. Jadi walau seringan apapun itu,
ibu akan khawatir padaku. Baiklah, semua aku anggap biasa saja tentang Neoplasmaku.
Aku belum dibolehkan pulang oleh
dokter. Walau begitu aku tak sekalipun merasa jenuh. Cukup mudah bagiku membuat
hidupku terasa menyenangkan dan tidak membosankan. Usai sudah serangkaian
olahraga yang bagiku sebenarnya terasa seperti terapy, dimana aku menjalani
semua satu demi satu sesuai arahan dokter, kemudian melewati serangkaian test
laborat, dan diakhiri dengan minum obat yang justru membuatku muntah-muntah
parah tak karuan. Tak masalah, enjoy aja karena sekarang aku sudah ada di depan
layar ipadku. Aku langsung tancap sluncur ke dunia maya. “Kunang-kunang kuning”
begitu aku tuliskan ID pada Yahoo Mail. Langsung saja aku buka sasaran
pertamaku, yaitu inbox dari Elang Putih, si soulmateku di dunia maya. Gimana
enggak? Dia selalu hadir kapanpun aku mencari Guardian Angelku. Tidak seperti
Dion.
Dion itu
kekasih aku, 5 tahun aku menjalin hubungan dengannya, sejak dulu aku masih
remaja berusia 16 tahun. Ya... kisah kasih disekolah gitu. Aku tahu dia sayang
banget sama aku, tapi dia terlalu sibuk dan egois…. Uhhh……
From : Elang.Putih@yahoo.com
Message :
28 jam 15 menit 47 detik,kemana aja kamu kunang?
Aku rindu padamu
kunangku? Apa kamu baik saja disana?
Gubrak aku mendengar kata rindu dari
elang. Sedang pacarku saja belum nengokin aku sampai hari ini. Gila bener
sampai detikpun Elang menghitungnya, tak terbayang bagaimana detik demi
detiknya terlalui untuk menungguku. Aku langsung serasa melambung-lambung. Kalau
kata iklannya nih,
“Aku serasa terbang diawan putih dan
meluncur bersamba lumba-lumba, dan terjun di taman bunga…..”
Spontan aja aku langsung ceritakan
tentang keadaan dan posisi aku sekarang. Walau begitu aku tetap bilang bahwa
aku baik-baik saja. Sampai pada akhirnya, aku menyebut “Neoplasma”. Simbol misterius dunia kedokteran.
Aku penasaran dan semakin penasaran.
Karena Elangpun terkesan tak mau menjawab pertanyaanku tentang apa itu Neoplasma? Dia selalu mengalihkan haluan
pembicaraan. Sampai-sampai aku nggak bisa tidur gara-gara dihantui rasa ingin
tahu.
Oh ya, aku ingat, aku masih save
nomer hape Elang. Daripada nggak nyenyak dalam tidur, lebih baik aku telephone
Elang aja deh.
(…….tuuuuttttttttttt…… tekan 5 untuk menjadikan nada sambung berikut sebagai nada sambung di
hapemu, “There’s a hero if you look inside your heart. You don’t have to be
afraid of what you are. There’s an answer if you reach into your soul. And the
sorrow that you know will melt away.”)
“Halo… maaf dengan siapa ini?” jawab
dari nomer Elang.
“Kok suara cewek sih? Kamu pacarnya
Elang ya?” tanya ku.
“Elang? Maaf maksud Anda Dokter
Erlangga? Saya assistannya, beliau sedang ada di ruang operasi. Anda bisa
meninggalkan pesan.” Terang si pengangkat telephone.
“ owh… begitu ya… sampaikan saja tadi
saya telephone. Dan nanti Ela, oh maaf maksudnya Dokter Erlangga biar kasih
kabar balik ke saya.” Kata ku.
“Maaf, benar Anda kunang? Begitu nama
Anda di hape ini.”
“Iya. Permata terangnya.”
“Ohh…begitu. Baiklah.”
“Terima kasih ya…?”
“Sama-sama.” Akhir assistant Elang.
Aku kaget. Begitu aku menutup
telephone ayahku langsung menggenggam tanganku. Aku bisa merasakan dinginnya
tangan ayahku. Sedang aku menengok kearah ibu ternyata ia tak menatapku, ia
membelakangiku, dan berdiri memandang keluar jendela. Ada apa ini? Lalu ayah
menjelaskan bahwa lusa akan dilakukan operasi. Operasi apa itu? Aku tidak tahu,
mungkin hanya operasi untuk mengobati organ dalamku yang katanya lecet.
Lagi-lagi aku merasa aneh, kalau memang itu operasi ringan, kenapa mereka
sebegitu terkesan takutnya? Dasar Neoplasma,
sang sosok misterius yang menjadi bagian dari aku.
SMS…SMS…
“Oh
handphoneku berdering, semoga saja dari Elang…” Harapku.
Masagge
Yank, maf ya? Q lum bsa jngukn u yank..
Q lg da krjaan d Bandung nh…
Baik2 y dsna? Lusa q dtang dech.
Ciyusss… Emuachhh :*
Pengirim:
Dion
+6287732818673
Ternyata bukan. Tapi dari kekasihku satu-satunya yaitu
Dion. Aku senang dapat sms dari Dion, tapi simbol kedokteran itu terus saja
memecahkan pikiranku. Rasanya tak ada keinginan untuk melepaskan buih-buih
rindu saat ini. Yang ada ingin cepet-cepet tahu tentang Neoplasma.
SMS…..SMS….
Tak lagi bergairah mendengar hapeku berdering.
Setengah melamun aku memencet tombol kunci di hapeku.
Massage:
Woww kunang q, tdi phon
yak?
Kngen nh……..??
Pengirim:
Elang
+6287837695421
Rasanya “DEG” dihati, membuat pikiranku semakin melayang
jauh. Bolehkah seperti ini? Aku punya kekasih, tidak seharusnya aku seperti ini
sama cowok lain. Ahh tapi itu nggak penting sekarang, aku mau langsung telephone
Elang saja. Peduli apa kalau ini namanya selingkuh. Peduli apa pula kalau ini
namanya PHP, alias Pemberi Harapan Palsu. Aku tak mau cloudy dulu, alias galau.
Yang penting semua pertanyaan tentang simbol itu terpecahkan.
(…….tuuuuttttttttttt…… tekan 5 untuk menjadikan nada sambung berikut sebagai nada sambung di
hapemu, “There’s a hero if you look inside your heart. You don’t have to be
afraid of what you are…”)
Terbawa suasana lagu, bibirku secara
tak sadar mulai mengikuti irama untuk bernyanyi,
“There’s a heroooooooooo if you look
inside your heart eeeeeee. You don’t have to be afraid of what you are eeeeee”
“Ehm, konser nih?” Elang mengangkat
telephoneku.
“Heheeheh nada sambungnya enak.
Lagunya Mariah Carey ya? Hero?”
“Iya dong… ada apa nih? Tumben-tumbennya
telephone? Biasanya juga cukup chat di YM?” Tanya Elang.
“Daripada nggak bisa tidur… ya…”
“Segitu kangennyakah kamu ma aku?
Hahahaha…”
“HEY! Nggak usah GR dulu deh, aku
cuma mau tanya nih… emmm…” Ragu ku.
“Apa?”
“Tentang Neoplasma …” Aku menghentikan bicaraku.
“Kenapa tanya sama aku?”
“Kamu kan dokter, iya kan? Ngaku aja
deh, aku sudah tahu kok. Jadi nggak mungkin kan kalau kamu nggak tahu.”
“Huh ya emang nggak mungkin. Tapi ini
menyangkut etika kedokteran. Kalau doktermu saja nggak ngasih tahu ya… aku juga
nggak mungkin bisa kasih tahu… maaf maaf saja nih?!”
“Tapi aku kenal kamu sebagai Elang!
Not as Dr. Erlangga, so? Tell me!”
“Neoplasma
itu…Mungkin memang sebaiknya kamu nggak usah tahu aja deh!” Halus suara
Elang.
“Loh kok gitu?”
“Haduh gimana ini?” Nada Elang
gelisah.
“Please… cukup kasih tahu saja. Nggak
usah mikir apa-apa. Apapun itu, it’s okay buat aku. Please Elang… please… aku
akan tetap baik-baik aja kok.” Rayu ku.
“Kangker.” Singkat Elang.
“Apa? Bisa ulang sekali lagi? Aku…
aku…” Nyeri dihatiku.
“Husssssssst udah! Ada obatnya kok,
kamu harus yakin itu!” Elang coba menenangkanku.
“Operasi lusa itu untuk…” Fikir ku.
“Operasi! Ya! Operasi bisa
menyembuhkanmu.”
“Kalau… ganas?” Tanyaku pesimis.
“Permata… dengar aku!”
Ini pertama kalinya Elang memanggilku
Permata dan bukan Kunang. Entah apa yang aku rasakan. Berita-berita kematian
karena kangker terus saja menghantuiku. Sekarang aku mengerti, mengapa ayah dan
ibu sulit menerima penjelasan dokter? Pasti karena Neoplasma yang ternyata kangkerku ini bukan lagi prajurit pleton
yang mudah dikalahkan. Bahkan aku yakin lebih dari sekelas benteng yang kuat
bertahan. Mungkin kelasnya ratu atau bahkan raja yang berkuasa menitahku untuk
mati.
********
Dua
hari sudah berlalu, hari ini aku hanya tinggal menunggu didorongnya tempat
tidurku ini ke ruang tempat bergantungnya sembuh atau mati. Perawat memberi kabar jam 10.00 WIB nanti
waktuku untuk operasi, berarti 2 jam lagi. Perawat juga menerangkan bahwa pihak
Rumah Sakit bekerjasama dengan dokter ahli dari Surabaya untuk operasiku. Aku
tahu maksud mereka berbicara dengan cara bersik-bisik seperti itu, maksudnya
agar aku berfikir tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Tapi percumah, aku
sudah terlanjur tahu. Termasuk tahu alasannya mengapa mereka sampai harus
mengimport dokter dari Surabaya.
Pada
saat penantian itulah aku merangkai puisi malamku. Takut jika nanti aku pergi
belum sempat mengucapkan selamat tinggal. Sekaligus harapan jika nanti aku
sembuh, itulah buah karyaku yang akan aku jadikan sebagai saksi perjuanganku
melawan maut.
“Kuncup
melati di pinggir pesisir
Ditepi
karang dipandang gadis
Hidup
atau mati sudahlah takdir
Sekarang
atau nanti sudah tertulis”
Begitulah caraku mengibur diriku
sendiri, akan kehilangan yang harus aku relakan untukku dan kepadaku sendiri.
Sesaat
kemudian dokter dan para perawat menjemputku, mereka mendorong kereta ini ke
ruang semestinya. Satu hal yang aku ragukan. Wajah dokter satu ini asing,
berarti dia bukan dokter Rumah Sakit tempatku dirawat. Mungkin ia yang dari
Surabaya, tapi aku merasa mengenalnya. Gambaran wajahnya terasa dekat dalam
memori. Terpaku menganalisa dokter muda ini, hingga aku tertegun ketika
mendengar jerit tangis ayah dan ibuku. Dan aku baru sadar bahwa sahabat karibku
si Santi dan kekasihku Dion sudah berdiri di ambang pintu. Mungkin juga mereka
hadir sejak tadi serta ikut mengiringiku walau aku tak yakin itu.
Dalam
ruang ini sebelum aku dibius ada yang menyapaku dengan ramah.
“Kunang? Seperti kata Mariah Carey
dalam lagunya Hero, ada pahlawan jika kamu melihat ke dalam hatimu. Kamu
percaya itu?”
“Kamu
Elang?” Kagetku.
“Hihihihi…
percayalah kamu bisa bertahan!”
Itulah kata-kata pertama yang aku
dengar dari Elang secara langsung setelah sekian lama aku mendambakan pertemuan
dengannya di dunia nyata, sekaligus kata-kata terakhir yang bisa aku dengar
dari Elang sebelum aku terpejam karena obat bius.
*********
Ketika
aku membuka mataku, aku melihat warna kuning di langit-langit kamar. Tidak
seperti biasanya yang putih pucat. Setelah benar-benar sadar nampak olehku
ruang kamarku. Kamar yang benar-benar milikku di rumah. Aku senang yang amat
sangat. Aku ingin berjingkrak karena terlalu bahagianya, ingin ku teriakkan
“HORE” karena aku sudah pulang. Tapi, menggerakkan tanganku saja ternyata aku
tak bisa.
Bersamaan
dengan itu, wajah-wajah pucat nan kusam satu persatu memasuki kamarku, ada
ayah, ibu, Dion, Santi, dan tentunya Elang yang hadir sebagai Dokter Erlangga.
Sekarang baru terasa nyeri di semua bagian tubuhku, pedih dan juga panas.
“Ahhh…
ibu… sakit… ahhhh…” Begitu teriakku yang menerus meracau kesakitan.
Ibu lantas memelukku, menciumku, dan
mengusapkan jemari halusnya ke keningku yang berkeringat. Beliau lantas
memangkuku dengan tangis yang tak henti-henti. Ayahku tak berkata apa-apa, ayah
hanya berlutut sambil menangis di samping tempat tidurku. Santi menutup
mulutnya dengan tangannya, itu agar suara tangisnya tidak membuatku khawatir.
Dion terus saja menantang Elang, yang Dion fikir Elanglah yang harus
bertanggung jawab atas sakitku. Sedang Elang justru tak menghiraukan ancaman
demi ancaman yang terlontar dari mulut gelisah Dion. Elang sibuk dengan
telephonenya dan sibuk untuk meredakan gejolak sakit di tubuhku ini.
Menyusul
lagi wajah gelisah ke dalam kamarku. Nampaknya kamarku akan ramai hari ini.
Wajah itu, bertubuhkan tinggi yang berbalutkan baju putih-putih, dia membawa
lembaran kertas hasil test laboratoriumku. Elang langsung menganalisa hasilnya
itu. Akupun berusaha semaksimal mungkin mengerahkan tenagaku yang tersisa ke
daun telingaku. Bisa aku mendengar Elang tak percaya dengan hasil laborat ini,
beberapa saat Elangpun berdebat dengan perawat pembawa berita itu. Singkatnya mereka
mau tak mau mengakui kebenaran test itu, ya walaupun itu hanya berupa salinan
test yang dikirim melalui fax. Tapi fax tidak akan bisa mengubah isi data yang
dikirim, jadi jelas tidak ada perubahan dalam proses pengiriman data terkirim
tersebut. Dan bisa dipastikan data itu asli.
“Operasinya
berhasil!” Begitu kata Elang hingga semua terheran-heran.
“Tapi….. operasinya terlambat.
Kangker yang semula hanya menyerang pembuluh limpha ternyata sudah menyebar
melalui sel-sel darahnya.” Tambah Elang.
Ayah dan ibuku semakin menjerit dalam
kandasnya harapan. Santi mencoba menjadi sandaran ibuku walau dirinya sendiri
sebenarnya rapuh. Elang mencoba memeluk Dion walau Dion terus saja berontak.
Aku genggam tangan ayahku yang roboh di tepian tempat tidurku. Ayah coba
terbangun dengan bantuan Elang. Bila saja aku masih mampu berkata-kata, aku
ingin berkata pada Elang bahwa dia memang Guardian Angelku bahkan sampai
hembusan nafas terakhirku. Aku tak mampu mengelak bahwa aku sudah malam.
“Pu..i..si……” Gemetar dan susah payah
aku menunjukkan satu kata itu saja.
“Puisinya belum selesai… masih ada lanjutnya…” Kata Santi
yang memungut selembar kertas yang lepas dari tangan lemas ibuku.
“Lalu… kepada aku
Biarkan
pilumu!
Biarkan
sakitmu!
Biarkan
rindumu!
Biarkan aku….
Semu…
Berlalulah
dari aku
Tanpa airmata
sendu…
Bukalah
matamu
Dan hanya
tersenyumlah mengingatku
Karena aku
untaian kisah masa lalumu…”
---------------TAMAT-----------